Pin It

JEJAK LANGKAH DAN KIPRAH PENGABDIAN KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

MASA AWAL KEMERDEKAAN (1945-1950)

        Pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari Belanda. Pada masa ini, sistem pemerintahan Indonesia diatur dalam UUD 1945 yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Presiden menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang pertamanya tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan kebijakan strategis sebagai tonggak dimulainya kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdaulat dengan mengambil tiga keputusan penting, yaitu:

1. Mengesahkan dan menetapkan Undang-undang Dasar1945;

2. Memilih Ir. Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden;

3. Memutuskan bahwa, untuk sementara waktu, dalam melaksanakan pekerjaannya Presiden dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

        Kondisi aparatur negara pada saat itu belum tertata dengan baik, bahkan larut dalam pergolakan politik. Meski demikian, langkah-langkah untuk melakukan penataan, penertiban dan pendayagunaan aparatur negara terus dilakukan di tengah kondisi bangsa yang masih belum stabil. Pada tanggal 25 September 1945, Mr. Kasman Singodimedjo selaku Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)   mengeluarkan pengumuman bahwa, Presiden memutuskan pegawai-pegawai Indonesia dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi Pegawai Negara Republik Indonesia dengan penuh kepercayaan bahwa mereka akan menumpahkan segala kekuatan jiwa dan raga untuk keselamatan Negara Republik Indonesia.

        Tetapi pernyataan penting tersebut tidak serta merta mempersatukan potensi pegawai negeri yang memang sudah terkotak-kotak dalam berbagai ikatan ideologis maupun politis. Apalagi ketika terjadi penggantian UUD 1945 menjadi Undang-undang Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), gejala disintegrasi PNS semakin nyata seiring dengan perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara federal.

        Pemerintah Republik tidak tinggal diam, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948, pada 30 Mei 1948, dibentuklah Kantor Urusan Pegawai (KUP), yang merupakan cikal bakal BAKN, untuk mengurus kedudukan dan gaji pegawai negeri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Tapi karena keadaan politik yang masih belum stabil, KUP belum berfungsi optimal.

MASA DEMOKRASI PARLEMENTER (1950-1959)

        Saat Indonesia mengadopsi sistem parlementer, dewan eksekutif dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil sulit dicapai. Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan, kerap berganti-ganti, sementara Presiden hanya sebagai kepala negara.

        Pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi pergantian UUDS Republik Indonesia Serikat menjadi UUDS Republik Indonesia yang berakibat terjadinya perubahan bentuk negara kembali ke negara kesatuan, namun PNS tetap saja terkotak-kotak. Program-program pemerintah banyak yang tidak berjalan karena diwarnai dinamika politik yang tinggi, sehingga berimbas pada pembinaan PNS secara keseluruhan.    

        Dalam situasi seperti itu, Pemerintahan terus berupaya melakukan penertiban dan penataan organisasi dan aparatur negara, salah satunya dengan membentuk Panitia Organisasi Kementerian (PANOK) melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 211 Tahun 1952 tanggal 8 September 1952 semasa kabinet Wilopo. Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke I, dilakukan program efisiensi aparatur negara serta pembagian tenaga yang rasional dengan mengusahakan perbaikan taraf kehidupan pegawai, dan memberantas korupsi. Pada kabinet Djuanda Kartawidjaja upaya penataan terus berlangsung, salah satunya dengan membentuk Lembaga Administrasi Negara (LAN), dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1957 pada 6 Agustus 1957, yang tugas pokoknya mengurus diklat, kajian dan memajukan ilmu administrasi agar terwujud mutu aparatur pemerintah yang cakap dan terampil.

MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1967)

        Pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Upaya pemurnian PNS dari upaya politisasi birokrasi pun dilakukan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang melarang PNS golongan F menjadi anggota suatu partai politik. Sejalan dengan hal tersebut, Presiden Sukarno membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) melalui Perpres Nomor 1 Tahun 1959 tanggal 27 Juli 1959, yang menjadi cikal bakal Kementerian PANRB.

        Ketua Bapekan, Sri Sultan Hamengkubowono IX, ditetapkan melalui Keppres Nomor 177 Tahun 1959 dan ditetapkan sebagai Pejabat yang berkedudukan setingkat Menteri melalui Keppres Nomor 178 Tahun 1959. Adapun peran Bapekan diuraikan secara rinci dalam PP Nomor 48 Tahun 1959 tentang Pelaksanaan Tugas Bapekan, yaitu melakukan pengawasan dan pengusutan terhadap semua kegiatan aparatur negara, melakukan riset terhadap kegiatan-kegiatan aparatur negara untuk mencapai daya guna/efisiensi dan kewibawaan yang lebih tinggi, menetapkan formasi dan kebutuhan pelatihan pegawai, memelihara hubungan kerja yang baik antar badan pemerintahan dengan masyarakat, dan menyelenggarakan pengurusan pengaduan.

        Pada 1960, Pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 4 dan 5 Tahun 1960 tentang Retooling Aparatur Negara dan membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang diketuai Jenderal A.H. Nasution. dengan tugas kebijakan umum, perencanaan, koordinasi, program dan pengawasan pelaksanaan kegiatan aparatur negara. Pada 5 Mei 1962 sesuai Perpres No. 3/1962, BAPEKAN dibubarkan berdasarkan Keppres No. 166/1962 (14 Mei 1962) tentang Pemberhentian Ketua dan Anggota BAPEKAN, fungsinya dilanjutkan oleh PARAN. Pada tahun 1964 PARAN dibubarkan. Dalam memperkuat Retooling yang dilakukan pasca pembubaran PARAN, Pemerintah membentuk Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (KONTRAR) dengan Keppres No. 98/1964 (27 April 1964) dipimpin oleh Presiden dengan tugas memperkuat Retooling tidak hanya pada aparatur negara tetapi juga sebagai alat revolusi yang bersifat politis, sesuai dengan keadaan waktu itu.

        Walaupun demikian, perkembangan aparatur negara sampai dengan akhir masa Orde Lama diwarnai dengan ketidakpastian akibat peranan partai-partai politik yang sangat dominan. Saat itu berkembang building block dari partai-partai politik yang berkuasa terhadap jabatan-jabatan strategis di jajaran pemerintahan demi kelangsungan partai politik yang bersangkutan. Di bidang kepegawaian, spoil system juga merajalela sehingga pengangkatan, penempatan, promosi dan instrumen kepegawaian lainnya tidak didasarkan pada prestasi kerja dan obyektivitas, melainkan berdasarkan pertimbangan politik, golongan dan unsur-unsur subyektif lainnya. Keadaan ini terus berlangsung sampai terjadinya pemberontakan G-30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965.

        Pergolakan politik saat ini mendorong Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tanggal 11 Maret 1966 yang intinya menunjuk Jenderal (TNI) Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menciptakan stabilitas politik keamanan pasca pemberontakan G.30 S/PKI. Tidak lama setelah itu, melalui Sidang Umum MPRS ke-4 telah dikeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera yang dimaksudkan untuk menggantikan Kabinet Dwikora. Dari sinilah, tonggak pendayagunaan aparatur negara yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru mulai dilakukan.

        Dalam rangka melanjutkan upaya-upaya strategis guna mewujudkan penertiban dan penyempurnaan administrasi negara serta aparatur pemerintah, dikeluarkan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 14/U/IN/1967. Dalam Instruksi ini ditetapkan agar Lembaga Administrasi Negara (LAN), Kantor Urusan Pegawai Republik Indonesia, dan Biro Pusat Statistik (BPS) membantu Dr. Awaloedin Djamin selaku Ketua Panitia Pembantu Ketua Presidium Kabinet Ampera dalam menertibkan dan menyempurnakan administrasi negara. Selanjutnya, dengan Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 266 Tahun 1967, tanggal 28 Desember 1967, Panitia Pembantu Presidium tersebut diberi nama Tim Pembantu Presiden untuk Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintah atau disebut dengan Tim PAAP.

 MASA ORDE BARU (1967-1998)

        Sidang Istimewa MPRS mengeluarkan Tap MPRS-RI No. XXXIII/MPRS/1967 pada tanggal 11 Maret 1967 yang berisi tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. Pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS, Jenderal Suharto ditetapkan sebagai Penjabat Presiden. Kemudian, Suharto menjadi presiden berdasarkan hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Sejak saat itu istilah Orde Baru digunakan untuk membedakan masa kekuasaan presiden Suharto dengan era sebelumnya, kepemimpinan presiden Sukarno disebut sebagai Orde Lama.

        Tim PAAP yang dibentuk pada akhit tahun 1967 membantu Penjabat Presiden, Jenderal Suharto, untuk melakukan penelitian, penertiban dan penyempurnaan administrasi negara, baik di tingkat Pusat maupun tingkat Daerah.  Pada saat itu di bidang kepegawaian, dilakukan pengubahan penggolongan PNS dari Golongan A sampai dengan F menjadi Golongan I sampai dengan IV yang dituangkan dalam kebijakan Peraturan Gaji Pegawai Negeri SIpil (PGPS) melalui PP Nomor 1 Tahun 1968. Sedangkan di bidang ekonomi antara lain ditetapkan peninjauan Undang-Undang Nomor 19/PRP/1960 mengenai kedudukan hukum struktur Perusahaan Negara sebagai implementasi Pasal 33 UUD l945.

       Sidang Umum MPRS ke-5 tanggal 21-27 Maret 1968, juga menetapkan Tap MPRS Nomor XLI/MPRS/1968 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan untuk menggantikan Kabinet Ampera dan menetapkan Tugas-tugas Pokok Kabinet Pembangunan yang disebut Panca Krida Kabinet Pembangunan yaitu :

  1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat untuk berhasilnya pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dan Pemilihan Umum(Pemilu);
  2. Menyusun dan melaksanakan REPELITA;
  3. Melaksanakan Pemilu sesuai dengan Ketetapan MPRS NomorXLII/MPRS/1968;
  4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G-30-S/PKI dan setiap perongrongan, penyelewenangan serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
  5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara dari tingkat Pusat sampai Daerah.

        Untuk menindaklanjuti pelaksanaan Panca Krida Kabinet Pembangunan tersebut, dibentuk Panitia Koordinasi Efisiensi Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur Pemerintah (Proyek 13) dengan Keppres Nomor 16 Tahun 1968 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1968. Proyek ini kemudian diganti dengan Sektor Penyempurnaan dan Penertiban Administrasi Negara yang dikenal dengan nama Sektor P yang keanggotaannya terdiri dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Sekretariat Negara, Departemen Keuangan, Departemen Tenaga Kerja, serta Departemen Transmigrasi dan Koperasi. Sektor P ini diketuai oleh Awaloeddin Djamin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dengan tugas menyempurnakan administrasi pemerintah agar mampu melaksanakan Repelita.

       Ketika pertama kali dibentuk pada Kabinet Pembangunan I melalui keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968, nomenklatur Menpan merupakan singkatan dari Menteri Negara Bidang Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara. Jabatan Menpan saat itu ditempati oleh Harsono Tjokroaminoto yang bertugas dari tahun 1968 sampai 1971, kemudian diteruskan kepada Emil Salim sampai dengan berakhirnya periode Kabinet Pembangunan I Tahun 1973.

        Dengan pembentukan Menpan, Tim PAAP dan Sekretariat Proyek 13 yang diketuai oleh Dr. Awaluddin Djamin dilebur sebagai staf Kantor Menpan, Awaluddin Djamin ditarik kembali ke jajaran POLRI. Menpan melaksanakan tugas program-program Repelita I khususnya Krida kelima dan sekaligus menjadi Ketua Sektor Aparatur Pemerintah (Sektor P) dengan fungsi-fungsi yang meliputi Penyusunan Kebijaksanaan, Perencanaan, Pembuatan Program, Koordinasi, Pengendalian, dan Penelitian dalam rangka menyempurnakan dan membersihkan aparatur negara.

        Pada periode PELITA II, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), pembinaan aparatur negara diarahkan untuk lebih mampu menggerakkan dan memperlancar pelaksanaan pembangunan, serta meningkatkan kemampuan aparatur daerah, terutama Aparatur Pemerintah Desa. Berdasarkan pemikiran tersebut, pada Kabinet Pembangunan II yang berlangsung dari Tahun 1973 sampai 1978, sebutan Menpan berubah menjadi Menteri Negara Penertiban dan Pendayagunaan Aparatur Negara sesuai dengan Keppres Nomor 9 Tahun 1973. Jabatan Menpan selama Kabinet Pembangunan II dan III dijabat oleh J.B. Sumarlin yang sekaligus menjabat sebagai Wakil Ketua Bappenas. Dalam periode ini, kegiatan utama Menpan berkisar pada langkah-langkah strategis di bidang kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan, dan pengawasan. Pada masa inilah, dikeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi tertib (Opstib) yang pada prinsipnya merupakan suatu upaya strategis dan fenomenal membantu dan menggalakkan kegiatan pengawasan pembangunan oleh aparat pengawasan fungsional di Pusat dan Daerah. Berkaitan dengan pelaksanaan Opstib ini, pegawai Kantor Menpan menyamar menjadi Pak Sidik untuk mengetahui tindakan pungutan liar yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak). Upaya ini dilanjutkan dengan pembentukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai aparat pengawasan fungsional intern Pemerintah yang merupakan peningkatan dari Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN)  yang sebelumnya merupakan Unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan, berdasarkan Keppres Nomor 31 Tahun 1983.

       Memasuki era PELITA IV, nomenklatur Menpan disesuaikan dengan dinamika, sehingga melalui Keppres Nomor 45/M Tahun 1983, sebutan Menpan menjadi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara/Wakil Ketua Bappenas yang dijabat oleh Saleh Afiff. Dalam periode ini, program dan langkah-langkah PAN lebih diarahkan untuk mengintensifkan kegiatan evaluasi dan mengupayakan penyempurnaan kebijakan Pemerintah yang mendukung pelaksanaan pembangunan, terutama strategi Pemerintah dalam mengembangkan dan meningkatkan sumber daya ekspor non-migas. Disamping tugas-tugas di bidang kelembagaan, kepegawaian, dan pengawasan yang selama ini dilakukan, Menapn juga mendorong kebijakan deregulasi dan debirokratisasi untuk meningkatkan ekspor non-migas. Dalam masa Kabinet Pembangunan IV yang berlangsung dari tahun 1983-1988, Menpan juga melakukan penyempurnaan dan penyesuaian serta status BUMN melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan BUMN.

        Pada Kabinet Pembangunan V yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 64/M Tahun 1988, Sarwono Kusumaatmadja diberi amanat sebagai Menpan ke-5. Sebagai penjabaran dari Keppres Nomor 13 Tahun 1989 tentang PELITA V, ditetapkan 8 Program Pemacu PAN yang terdiri dari Pelaksanaan Pengawasan Melekat (WASKAT), Penerapan Analisis Jabatan (ANJAB), Penyusunan Jabatan Fungsional (JAFBUNG), Peningkatan Mutu Kepemimpinan Aparatur (MUTPIM), Penyederhanaan Prosedur Kepegawaian (PROSPEG), Penyederhanaan Tatalaksana Pelayanan Umum (YANUM), Perancangan Sistem Informasi Administrasi Pemerintahan (SIAP), Penitikberatan Otonomi Daerah Tingkat II (OTODAT).

        Dalam periode Kabinet Pembangunan VI yang berlangsung dari tahun 1993 sampai 1998, Menpan dijabat oleh T.B. Silalahi. Program-program PAN dalam masa bakti ini dirumuskan dalam Enam Kebijakan PAN yang terdiri dari Sistem pembinaan Karier PNS, Kebijaksanaan Pertumbuhan Nol PNS (Zero Growth), Perampingan Organisasi, Penerapan 5 Hari Kerja di Instansi Pemerintah, Peningkatan Pelayanan Umum, dan Proyek Percontohan Otonomi Daerah Tingkat II.

        Seiring dengan perkembangan keadaan sosial kenegaraan, pada Kabinet Pembangunan VII, Menpan berubah menjadi Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (Menko Wasbangpan) yang dimaksudkan untuk lebih meningkatkan fungsi pengawasan pembangunan dan program-program di bidang aparatur negara secara sistemik dan koordinatif. Hartarto Sastrosunarto diberikan amanat untuk memimpin Kantor Menko Wasbangpan yang merupakan penggabungan dari sebagian Kantor Menko Bidang Produksi dan Distribusi dan Kantor Menpan. Tetapi usia kabinet ini tidak berlangsung lama, karena pada periode ini terjadi gerakan reformasi yang menyebabkan Presiden Suharto mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai Presiden Rl dan akhirnya digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie pada 21 Mei 1998.

MASA REFORMASI (1998-SEKARANG)

        Melalui Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998, Menko Wasbangpan tetap dipertahankan dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang dibentuk oleh Presiden B.J. Habibie dan dipimpin kembali oleh Hartarto Sastrosunarto. Langkah-langkah Kebijakan dan program kerja yang dilakukan selama kabinet yang singkat ini diarahkan untuk melaksanakan amanat reformasi pembangunan sebagai tindak lanjut Ketetapan MPR Hasil Sidang Istimewa bulan November 1998. Ketetapan-ketetapan MPR yang menjadi landasan utamanya adalah: TAP Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, TAP Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Meskipun masa bakti kabinet ini berlangsung relatif singkat, namun mampu menghasilkan langkah-langkah strategis untuk perjalanan kehidupan kenegaraan yang lebih sejahtera dan demokratis. Salah satu prestasi penting yang patut dicatat dalam sejarah adalah terselenggaranya pemilu yang demokratis di tengah-tengah krisis multidimensional yang melanda tanpa menimbulkan gejolak politik dan sosial yang berarti. Dengan pemilu tersebut, dihasilkan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan Megawati Sukarnoputeri sebagai Wakil Presiden melalui Sidang Umum MPR Tahun 1999.

        Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang menempatkan Menpan sebagai salah satu kementerian di dalamnya. Kedudukan Menpan dijabat oleh Freddy Numberi yang mengemban tugas hanya selama 10 bulan, kemudian beralih kepada Ryaas Rasyid yang akhirnya mengundurkan diri setelah menjabat selama 5 bulan. Jabatan Menpan kemudian dirangkap oleh Marsilam Simanjuntak yang ketika itu menjabat sebagai Sekretaris Kabinet. Pada tanggal 12 Juni 2001, Anwar Suprijadi ditunjuk secara definitif menjadi Menpan berdasarkan Keppres Nomor 177/MTahun 2001. Dua bulan setelah itu,  Anwar Suprijadi juga berhenti dari jabatannya seiring dengan diberhentikannya Gus Dur dalam Sidang Istimewa MPR Tahun 2001. Gus Dur kemudian digantikan oleh Megawati Soekarnoputeri sebagai Presiden Rl ke-5. Jabatan Menpan selanjutnya ditempati M. Feisal Tamin yang diangkat berdasarkan Keppres Nomor 228/M Tahun 2001 tanggal 9 Agustus 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

        Baik pada masa Kabinet Reformasi Pembangunan, Kabinet Persatuan Nasional maupun Kabinet Gotong Royong, Kementerian PAN berhasil meneguhkan posisi aparatur negara sebagai unsur perekat bangsa yang profesional, andal dan netral dari kepentingan politik sekalipun dinamika politik saat itu begitu tinggi, dikarenakan pada tahun 2024 untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan umum secara langsung. Pesta demokrasi yang panjang dan menyerap perhatian, keteguhan dan kemandirian bangsa ini, akhirnya membuahkan hasil dengan terpilihnya anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota serta Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pada periode ini, semangat untuk menggulirkan Reformasi Birokrasi sebagai upaya untuk mewujudkan Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) mulai digerakkan dengan langkah-langkah yang sistematis, cermat, terpadu dan terkoordinasi.

        Tanggal 20 Oktober 2004, Susilo Bambang Yudhoyono dan H.M. Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia untuk periode 2004-2009. Sehari setelah itu, pada tanggal 21 Oktober 2004, Presiden melantik anggota kabinet yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 187/M tahun 2004. Amanat untuk mengemban tugas sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) diserahkan kepada Taufiq Effendi. Beberapa kebijakan penting pada era beliau ialah diluncurkannya Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Kementerian PANRB

        Pada 22 Oktober 2009, Presiden Rl terpilih Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden terpilih Boediono mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu II, kemudian melantiknya pada tanggal 23 Oktober 2009. Dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II masa bakti 2009-2014, Kementerian Negara PAN berganti nama menjadi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB), sebagai penguatan peran dan tanggung jawab untuk lebih mengoptimalisasikan implementasi reformasi birokrasi sebagai salah satu agenda strategis kenegaraan. Tugas strategis penuh tantangan tersebut diberikan kepada E.E. Mangindaan, mantan Ketua Komisi II DPR RI yang juga pernah mengemban tugas sebagai Pangdam Trikora dan Gubernur Sulawesi Utara. Pada era Menpan E.E. Mangindaan diluncurkan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang ditetapkan melalui Perpres Nomor 81 Tahun 2010.

        Pada tahun 2011 terjadi Reshuffle pada Kabinet Indonesia Bersatu II, posisi Menteri PANRB yang dijabat oleh E.E. Mangindaan digantikan oleh Azwar Abubakar yang juga didampingi oleh Wakil Menteri, Eko Prasojo. Duet Azwar Abubakar dan Eko Prasojo berupaya mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi melalui Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi, yaitu (1) penataan struktur birokrasi; (2) penataan jumlah, distribusi dan kualitas PNS; (3) sistem seleksi dan promosi secara terbuka; (4) profesionalisme PNS; (5) pengembangan sistem pemerintahan elektronik (e-government); (6) penyederhanaan perizinan usaha; (7) pelaporan harta kekayaan pegawai negeri; (7) peningkatan kesejahteraan pegawai negeri; dan (9) efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja pegawai negeri.

        Beberapa kebijakan strategis yang lahir pada era Menpan Azwar Abubakar diantaranya ditetapkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pembangunan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 dengan prinsip “no wrong door policy”, serta Promosi Jabatan. Promosi jabatan secara terbuka (Open Bidding/Selection), memberikan kesempatan kepada semua pihak yang memenuhi syarat untuk ikut berkompetisi. Hal itu diawali dengan mengisi sejumlah jabatan eselon I dan II di lingkungan Kementerian PANRB dan juga Kepala BKN, Kepala LAN, dan Deputi kepala ANRI yang kemudian diikuti instansi pemerintah lainnya.

        Pada 27 Oktober 2014 Kabinet Kerja dibentuk oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menpan Azwar Abubakar digantikan oleh Yuddy Chrisnandi. Pada kebijakan strategis pada beliau diantaranya penetapan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai ASN melalui  PP No 70 Tahun 2015, mengawai enataan LNS secara intensif dilakukan mulai tahun 2014, 10 LNS dibubarkan melalui Perpres Nomor 176/2014, 2 LNS dibubarkan melalui Perpres Nomor 16/2015, serta penyelenggaraan Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP).

        Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle kabinet pada 27 Juli 2016, Yuddy Chrisnandi digantikan oleh Asman Abnur. Beberapa kebijakan strategis pada era Asman diantaranya merumuskan PP Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, pencanangan Gerakan Indonesia Melayani (GIM) sesuai Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), melanjutkan penataan LNS dengan membubarkan 11 LNS, penyelarasan Sistem Perencanaan, Penganggaran dan Informasi Kinerja bersama dengan Bappenas, dan Kementerian Keuangan melalui kebijakan PP No. 17 Tahun 2017, perumusan indeks profesonalitas ASN (Permen PANRB Nomor 38 2018) dan pedoman sistem merit (Permen PANRB Nomor 40 Tahun 2018), dan pembanunan Zona Integritas yang difokuskan pada instansi penegak hukum, kecamatan, imigrasi dan Badan Pertanahan.

        Pada tanggal 14 Agustus 2018, Asman mengundurkan diri dan sebagai penggantinya Presiden Joko Widodo menunjuk Wakapolri Syafruddin sebagai Menpan yang baru. Pada era Menteri Syafruddin, diterbitkan kebijakan mengenai Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) melalui Perpres Nomor 95 Tahun 2018, Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) melalui PP Nomor 49 Tahun 2018, dan penilaian  kinerja PNS melalui PP No 30 Tahun 2019.

        Presiden Joko Widodo Kembali terpilih dan kini berpasangan dengan Wapres Ma’ruf Amin, pada 23 Oktober 2019 membentuk Kabinet Indonesia Maju, dan menunjuk Tjahjo Kumolo yang sebelumnya merupakan Menteri Dalam Negeri, menjadi Menpan berikutnya. Sesuai arahan presiden agar birokrasi semakin lincah, pada era ini terjadi penyederhanaan birokrasi dengan transformasi struktur dan sistem kerja. Instansi pemerintah dilakukan delayering sehingga tinggal dua level saja (Eselon I dan II) yang sebelumnya dapat sampai Eselon V, kecuali untuk sedikit jabatan tertentu saja yang masih dapat dipertahankan. Sebanyak 42.259 unit jabatan administrasi berkurang dan para pejabatnya dialihkan menjadi pejabat jabatan fungsional. Seiring dengan hal tersebut juga ditetapkan sistem kerja baru melalui Permen PANRB Nomor 7 Tahun 2022. Pada masa kepemimpinan Tjahjo Kumolo juga dicanangkan nilai ASN yang satu yaitu BerAKHLAK (Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif). Selain itu juga dilakukan peningkatan kualitas layanan Kementerian PANRB dengan aturan baru sesuai Permen PANRB Nomor 19 Tahun 2021, layanan tersebut diantaranya layanan penataan organisasi, penetapan kebutuhan CASN, pengaduan pelayanan publik, penetapan tunjangan kinerja instansi Pemerintah, penetapan kelas jabatan, penetapan jabatan fungsional, penetapan hari dan jam kerja instansi Pemerintah, penetapan pakaian dinas, pertimbangan pembangunan dan pengembangan aplikasi khusus SPBE, penetapan tunjangan jabatan fungsional, dan penetapan hak keuangan pimpinan/anggota LNS.

        Tjahjo Kumolo meninggal dunia pada 1 Juli 2022, kemudian Presiden mengangkat Abdullah Azwar Anas sebagai pengganti almarhum Tjahjo Kumolo, sekaligus menjadi Menpan ke-20. Sebelum menjabat sebagai Menteri, Azwar Anas merupakan Kepala LKPP dan Bupati Banyuwangi periode 2010-2021. Arahan presiden kepadanya Ketika dilantik, menjadikan reformasi birokrasi lebih berdampak bukan hanya hal yang bersifat administratif. Sejak saat itu, dicanangkan RB Tematik yaitu reformasi birokrasi yang menyasar program prioritas pembangunan yaitu penanggulangan kemiskinan, peningkatan investasi, digitalisasi administrasi pemernahan, pengendalian inflasi dan pengunaan produk dalam negeri. Berbagai proses bisnis layanan kepada PNS didorong untuk dipangkas. Layanan yang diberikan BKN, yaitu layanan kenaikan pangkat semula 14 tahap menjadi 2 tahap, layanan pensiun semula 8 tahap menjadi 3 tahap,  layanan pindah instansi semula 11 tahap menjadi 3 tahap. LAN juga didorong melakukan penyederhanaan layanan, sehingga beberapa layanan menjadi lebih ringkas dan cepat seperti layanan pengembangan kompetensi, penyelenggaraan pelatihan, akreditasi, penetapan angk akredit, dan uji komptensi JF. Pada era Menteri Anas juga ditetapkan arsitektur SPBE melalui Perpres 132 Tahun 2022, penyusunan RUU ASN bersama DPR sebagai pengganti UU Nomor 5 Tahun 2014, dan pembangunan Mall Pelayanan Publik (MPP) Digital.

Update per 27 Juli 2023


Cetak   E-mail